Kamis, 23 September 2010

Rumah

Setiap rumah mencerminkan sikap hati pemiliknya. Bagaimana si empunya rumah mengatur ruang tamu, ruang keluarga, kamar mandi, membatasi service area dari public area sangat mencerminkan keinginan si empunya untuk berinteraksi dengan orang lain. Apakah rumah itu berpagar tinggi dan rapat, apakah berpagar rendah dari tanaman akan mencerminkan hati si empunya. Itulah mengapa setiap orang tidak pernah merasa selesai membangun rumah, karena betapapun besar biaya yang sudah dikeluarkan, bangunan fisik itu tidak bisa secara persis mencerminkan isi hatinya.

Bagaimana dengan orang yang membeli rumah second? Dipastikan waktu untuk memilih rumah akan lebih banyak. Kedua, kalau sudah dapat, dibutuhkan penyelarasan luar dalam antara hatinya dan bangunan itu. Itulah sebabnya orang yang membeli rumah second kadang menghabiskan lebih banyak dana untuk renovasi pasca transaksi.

Orang Jawa tidak bisa memisahkan rumah dari pulung. “Rumah itu pulung”, kata para tetua. Makna “pulung” secara tepat saya tidak terlampau paham. Yang jelas ada unsur “peruntungan”, ada unsur “wahyu” ada unsur “jodoh”. Ketiga tiganya mengandung nuansa spiritual.

Karena mencoba menyelami ajaran para tua, saya benar benar mengandalkan intuisi ketika membeli rumah di Djokja. Benar saja, pengalaman itu datang juga. Mungkin terlalu naif jika saya katakan ini sebuah pengalaman spiritual. Entahlah, yang jelas prosesnya menggaungkan permenungan yang panjang sampai detik ini.

Setelah lima bulan hunting ke seluruh penjuru djokja, saya belum juga menemukan rumah yang “nyes” di dalam hati. Sampai suatu sore, ketika badan lunglai dari perjalanan mencari rumah, abang tukang becak di depan kontrakan saya bertanya, apakah saya masih mencari rumah. “Ya” saya jawab seenaknya. Lalu dia bilang ada rumah di Jl Sorosutan 67, pemiliknya mantan pejabat di sebuah kabupaten di Jateng, beliau akan menjual murah, katanya.

Saya betul betul tidak tertarik dengan tawarannya. Tapi, pada hari berikutnya saya melihat kesungguhan abang becak ini dari binar matanya. “Rumah ini cocok buat Pak Budi” katanya. Maka sayapun meluangkan waktu untuk melihat rumah itu. Namun setelah itu tidak saya tindak lanjuti karena ada beberapa prospek yang menurut pikiran saya jauh lebih menarik.

Namun, entah mangapa, setelah saya melihat rumah itu, proses negosiasi dengan rumah yang lain menjadi lebih berat. Ada ada saja halangan untuk bertransaksi. Ada yang sudah sempat saya kasih tanda jadi, akhirnya saya batalkan karena sebab tertentu. Sayapun mengalami kerugian. Ada yang sudah deal dengan harga, ketika akan transaksi, si empunya tanya macam macam tentang diri saya. Akhirnya dia sendiri yang menyarankan supaya saya batal membeli rumah itu, karena ke depan pasti tidak nyaman bagi saya. Ada rumah yang sudah saya niatkan untuk saya beli, ternyata sudah keduluan orang lain dan hanya selisih semalam. Pokoknya proses terhadap rumah lain menjadi sangat berat.

Syahdan, di tengah keletihan setelah beraktivitas seharian saya mampir ke rumah yang ditunjukkan oleh si abang becak itu. Iseng iseng saya menemui si penjual. Betapa kagetnya saya ternyata si abang becak sudah mendahului saya, mendesak kepada penjual untuk hanya menanggapi saya sebagai pembeli. Sayapun marah, tersinggung, merasa diintervensi. Saya berpikir nggak sepantasnya makelar bertindak berlebihan seperti itu.

Saya bergegas pulang ingin segera menemui Mas Widodo si abang becak itu. Saya ngomel disepanjang jalan, ketersinggungan saya memuncak, sampai akhirnya saya ketemu dia. Saya marah marah, saya merasa didahului, saya mereasa si tukang becak itu lancang, gak pantas melakukan hal itu, saya menuduh dia sebagai makelar yang takut gak dapat rejeki, dan masih banyak lagi. Lebih dari itu, saya menuduh dia sebagai orang yang tidak memahami bahwa mencari rumah adalah sebuah “laku” harus setiti dan ngati ati. Sayapun menggelontorkan pengertian pengertian baru tentang spiritualitas rumah, yang saya yakini dia tidak dong sama sekali. Pendeknya, saya marah besar.

Tiga hari berlalu. Si abang becak itu jatuh sakit. Tenggorokannya bengkak hingga tak bisa makan. Dua minggu kemudian ... meninggal.... innalillahi waina illahi rojiun...

Saya tertegun sangat lama... Dia meninggal persis ketika saya deal untuk membeli rumah itu, seolah dia ingin mengatakan kepada saya “Budi, tugasku sudah selesai... renungkan kembali seluruh ucapanmu kepadaku tempo hari”. Dalam sebuah permenungan saya mendengar dia bertanya lagi “Budi, apa yang kamu ketahui tentang, pulung, peruntungan, laku dan spiritualitas?” Dalam permenungan yang lain lagi saya mendapatkan pertanyaan yang jawabnya sudah disediakannya bagi saya “ Kau tidak akan memahami makna makelar Illahi, kalau kau masih saja memandang rendah mereka yang hina dina?” Semua pertanyaan itu hanya menyisakan air mata bagi saya. Saya menangisi kemana intuisi saya, menangisi kemana telinga hati saya, menangisi kemana mata hati saya, saat itu.... ***

Sahabat, semua nafsu sudah saya coba release, meski belum sepenuhnya clear. Saya sudah menemui satri Mas Widodo di pelosok Klaten untuk minta maaf. dan masih banyak pembelajaran hati yang ingin saya dapatkan dari proses ini.

Sekarang, rumah itu menjadi pusat kegiatan Katahati Djokja. Proses mendapatkan rumah itu telah membawa sebuah gerakan pertumbuhan. Semoga semangat pertumbuhan inilah yang selalu menginspirasi kita semua.

Kami mengundang sahabat semua untuk mampir ke Jl Sorosutan no 67 bila sampai di Djokja, di sini kita dapat saling berbagi, saling meneguhkan, saling mengingatkan untuk pertumbuhan kita masing masing

Disini Anda juga bisa mendaftar training, mendapatkan CD Digital Prayers dan konsultasi

Tidak ada komentar: