Minggu, 14 November 2010

Tersenyum dan Menderita

ICT Goen menulis:
Dua orang sahabat bertemu setelah sekian lamanya. Yang satu tampak menderita, sedangkan yang satu selalu tersenyum. Kita sebut dia Derita dan Senyum. Ketika Senyum menanyakan kabarnya, Derita menggunakan kesempatan itu untuk curhat padanya.

"Teman, aku sedih sekali, hidupku hancur, aku tak jadi menikah karena pasanganku meninggalkan aku disaat hari pernikahan kami hanya tinggal seminggu lagi."

"Kalau begitu kau lebih beruntung kawan, karena kau hanya gagal menikah,sedangkan aku...pernikahanku gagal, kami berpisah 10 tahun kemudian dari hari dimana kami mengucap janji setia sehidup semati," jawab Senyum.

Derita tersentak mendengarnya, tapi rupanya dia masih punya cerita yang lain lagi.

"Tapi teman, bukan itu saja, aku sekarang punya hutang ratusan juta rupiah, dan aku tak tahu bagaimana melunasinya."

"Kalau begitu kau lebih beruntung kawan, karena hutangku milyaran rupiah,aku juga tak tahu cara melunasinya, tapi TUHAN TAHU. Aku hanya perlu mengikuti petunjuk-Nya," jawab Senyum tetap dengan senyumnya yang lebar.

Derita kembali tersentak, tapi kemudian dia bercerita yang lain lagi.

"Tapi teman, sekarang aku jadi gampang sakit-sakitan, aku stress berat, makan tak enak, tidur pun tak nyenyak!"

"Kalau begitu kau lebih beruntung karena baru gampang sakit-sakitan.
Sedangkan aku...aku sudah lama sakit kawan. Dokter mengatakan aku hanya tinggal menunggu waktu, karena penyakitku sudah tak bisa disembuhkan. Dan sekarang aku sudah tak lagi bisa makan yang enak-enak yang dulu jadi favoritku. Kau masih beruntung kawan, tidurmu tak nyenyak tapi kau masih bisa terbangun. Sedangkan aku, sewaktu-waktu aku tak akan bisa terbangun lagi dari tidurku," jawab Senyum masih dengan senyumnya yang tulus dan tak dibuat-buat.

Mendengar itu, pucatlah wajah Derita. Ternyata masalahnya jauh tak ada apa-apanya dibandingkan Senyum.

"Tapi teman, kenapa kau bisa tetap tersenyum disaat hidupmu jauh lebih parah daripada aku?" tanya Derita penasaran.

"Karena kalau aku tidak memilih untuk bahagia sekarang juga, lalu kapan aku akan bahagia? Waktuku tinggal sedikit, jadi kenapa harus aku habiskan dalam penyesalan dan keputusasaan?"

Luluhlah hati Derita. Ternyata dia jauh lebih beruntung dibandingkan senyum. Dan dia pun menyadari ternyata selama ini dia mengejar kebahagiaan bersyarat, alias kebahagiaan yang ditentukan oleh faktor dari luar diri.

***

Sahabat, cerita seperti ini rasanya sudah umum terjadi pada banyak orang.
Merasa paling menderita dan mengejar kebahagiaan yang bersyarat. Tetapi ketika bertemu dengan orang yang lebih menderita, barulah terbuka kesadaran bahwa kita lebih beruntung, bahkan jauh lebih beruntung.

Dan tak jarang pula kita temui bahwa mereka yang secara keseluruhan seharusnya jauh lebih menderita dari kita, ternyata tetap tenang-tenang saja, seolah tak terjadi apa-apa. Ya, karena mereka memilih untuk tetap bahagia, karena putus asa pun tak akan menghasilkan apa-apa. Daripada menyerah karena gagal, mereka memilih untuk gagal menyerah.

Waktu kita terbatas, kita tidak tahu kapan kita akan dipanggil pulang kepada-Nya. Jika kita habiskan waktu dengan rasa menderita, lalu kapan kita akan merasakan nikmatnya hidup? Bahagia adalah pekerjaan dari dalam diri, dan cara terbaik untuk menemukannya adalah dengan mensyukuri titik saat ini, untuk semua yang telah kita miliki dan kita nikmati.

Semoga kita senantiasa mendapatkan kesadaran bahwa kita adalah orang yang selalu beruntung, dan bisa tetap tenang serta mampu bersyukur dalam keadaan sesulit apapun, karena meski tak seorangpun lagi yang bersedia menemani kita, Tuhan selalu ada untuk kita.

Wallahualam
Wassalam
Goen

Setiap orang memiliki cara atau sikap yang berbeda-beda saat mendapati masalah.
ada yang berani menghadapi secara langsung dan berupaya menyelesaikannya.
ada yang berani tapi tidak tahu cara menyelesaikannya.
ada yang tidak berani walau tahu caranya.
ada yang tidak berani karena tidak tahu caranya.
ada juga yang berani, tahu caranya, tapi tidak tahu masalahnya!
si derita, jelas termasuk orang yang tidak berani karena tidak tahu cara menyelesaikan atau menghadapi masalahnya.
si senyum, berani, tahu caranya, tahu masalahnya, tapi jelas dia tidak dapat menyelesaikan masalahnya.
jadi benarlah apa kata si senyum, bahwa si derita lebih beruntung..

kegagalan si derita dalam menyikapi masalahnya dapat dimaklumi. kita tidak dapat menyalahkan orang karena ketidaktahuannya bukan?

ah, baru kena flu aja udah mengeluh. aku yang kena jantungan aja biasa2 aja tuh!

untungan kamu cuma jantung yang kena. gue lebih parah. istri kabur dengan laki2 lain. anak kena kasus narkoba. proyek bisnis gagal total.
kalo jantung gue ada lima. semuanya pasti sudah harus di by pass!

manusiawi.

sebagai manusia yang sudah dibekali potensi luarbiasa sejak lahir, tentunya juga sudah dipersiapkan oleh penciptanya untuk mampu menghadapi masalah sebesar apapun.
satu rumus dasar yang harus selalu diingat adalah:

'masalah kurang dari atau tidak lebih besar dari potensi'

bila anda yakin dengan tersenyum, semua masalah akan teratasi, maka teruslah tersenyum..
bila anda yakin berdoa adalah cara terbaik, maka lanjutkan berdoa!

tp ada loh yang lebih nyaman dengan curhat dan berkeluh kesah kesana kemari.
malah, ada juga yang menganggap tidak pernah punya masalah.
katanya, masalah cuma ada dalam pikiran!

oh ya, semakin komplikated masalah seorang, semakin besar potensi yang dapat dikembangkan.
karena otak manusia dapat membesar.
masalahnya ya itu tadi. ada yang puas dengan hanya curhat kesana kemari. ada yang pura2 tidak tahu kalo ada masalah. ada yang menutupinya dengan masalah baru.
tp banyak juga kok yang fight sampai titik darah penghabisan..

Bener kang Dede, si Senyum seolah mengatakan:" permasalahan hidup hanya itu-itu juga, solusinya juga hanya begitu-begitu juga...." Padahal jika sudah diketahui rumusnya, gak seru lagi donk...seperti kata2 Kahlil Gibran:...memasuki dunia tanpa musim, dimana kita menangis tidak sepenuh jiwa dan tertawa tidak ....(saya lupa lagi) atau jangan2 kitanya malah terjebak 'menobatkan' diri sebagai si 'penggenggang hidup' - bukankah Nabi Yunus AS ketika di perut ikan Hiu rintihannya begitu menggetarkan? Dalam situasi yang mencekam itu beliau tidak tau apa yang akan terjadi selanjtnya...tidakkah kita merinding dengan firmanNYA: "Maka kalau sekiranaya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit." (Ash-Shafat:144). Nabi Muhammad SAW mengatakan: Benar aku aku adalah Rasul Allah, tapi bahkan aku sendiri pun tidak pernah tau apa yang akan menimpaku hari esok...dan beliau pun menangis
saat kehilangan putranya. Ibrahim AS, apakah ringan hatinya ketika harus mengorbankan Ismail, putra yang sangat dicintainya? Jika ia maka bagaimanakah kita bisa mengukur betapa besar pengorbanannya, yang ceritanya tidak pernah bosan kita dengarkan..

Point-nya barangkali bahwa bereaksi secara manusiawi adalah sifat manusia yang dapat diterima. Manusia sebagai makhluk tidak berdaya. Tentang ketidakberdayaan manusia ini,saya terkesan dengan penuturan penata rambut kita, Rudi Hadisuwarno, yang baru saja saya dengarkan di radio mobil saat memasuki kota Surabaya dari Sidoarjo. Rudi antara lain mengatakan: saya menjadi penata rambut selama 42 tahun. Dengan karir sebagaimana yang saya capai ini adalah karena saya merasa diri tidak berdaya, doa adalah sandaran saya atas ketidakberdayaan sebagai manusia, agar Tuhan memberi daya dan membimbing saya...dst mungkin sekitar 3 menit Rudi bicara...
So, bagaimanakah kita menghadapi masalah dimana tawa, tangis, haru,takut....adalah bagian dari kuasaNya juga yang menjadi ciri manusia?

So, bagaimanakah kita menghadapi masalah dimana tawa, tangis, haru,takut....adalah bagian dari kuasaNya juga yang menjadi ciri manusia?

Selamat Malam semua...selamat menyambut Iedul Adha bagi yang merayakannya...

Tidak ada komentar: